Kisahku yang satu ini terjadi sudah agak lama, tepatnya pada akhir division 3, dua tahun yang lalu. Waktu itu adalah saat-saat menjelang UAS. Seperti biasa, seminggu sebelum UAS nama-nama mahasiswa yang tidak diperbolehkan ikut ujian karena berbagai sebab seperti over absen, telat pembayaran, dan sebagainya tertera di papan pengumuman di depan TU fakultas.
Hari itu aku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar cekal salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula. Aku sangat bingung di sana tertulis absenku sudah 4 kali, melebihi batas maksimum 3 kali, apakah aku salah menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat dengan jelas aku hanya 3 kali absen di mata kuliah itu.
Akupun accuse masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu Pak Qadar, seorang dosen yang cukup chief di kampusku, Usianya 40-an, berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek kalau dibanding denganku hanya sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak dan mengerti namun dia agak cunihin, karena suka cari-cari kesempatan untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi yang cantik pada jam kuliahnya termasuk juga aku pernah menjadi korban kecunihinannya.
Karena sudah chief dan menjabat kepala jurusan, dia diberi ruangan seluas 5×5 beat bersama dengan Bu Hany yang juga dosen chief merangkap wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang mahasiswa yang sedang bicara padanya pamitan.
“Siang Pak!” sapaku dengan senyum dipaksa.
“Siang, ada perlu apa?”
“Ini Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal di catatan saya cuma tiga..,” demikian kujelaskan panjang lebar dan dia mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Beberapa menit dia meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar absen lalu kembali lagi dengan map absen di tangannya. Ternyata setelah usut punya usut, aku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya aku juga lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasihan aku memelas padanya supaya ada keringanan.
“Aduhh.. Tolong bell Pak, soalnya nggak ada yang memberitahu saya tentang yang tambahan itu, jadi saya juga nggak tahu Pak, bukan salah saya semua bell Pak.”
“Tapi kan Dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu bell dulu.”
Beberapa saat aku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya tetap harga mati, yaitu aku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain aku tidak lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum aku pamit hanyalah,
“Ya sudahlah Dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini supaya memacu anda lebih rajin di kemudian hari” dengan meletakkan tangannya di bahuku.
Dengan lemas dan pucat aku melangkah keluar dari situ dan hampir bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu. Dalam perjalanan pulang di mobilpun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku mengklaksonku karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau.
Hari itu aku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang sekali aku mengisapnya. Aku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas untuk mata kuliah ini, juga nilai UTS-ku 8, 8, tapi semuanya sia-sia hanya karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal. Sambil tiduran aku memindah-mindahkan chanel ambit dengan remote, hingga sampailah aku pada approach TV dari Taiwan yang kebetulan sedang menayangkan blur semi.
Terlintas di pikiranku sebuah cara gila, mengapa aku tidak memanfaatkan sifat cunihinnya itu untuk menggodanya, aku sendiri kan penggemar seks bebas. Cuma cara ini cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah aku yang malu, tapi biarlah tidak ada salahnya mencoba, gagal ya gagal, begitu pikirku. Aku memikirkan rencana untuk menggodanya dan menetapkan waktunya, yaitu abscessed jam 5 lebih, biasanya jam itu kampus mulai sepi dan dosen-dosen lain sudah pulang. Aku cuma berharap saat itu Bu Hany sudah pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda atau mungkin gagal.
Keesokan harinya aku mulai menjalankan rencanaku dengan berdebar-debar. Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan berwarna biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut, gilanya adalah dibalik semua itu aku tidak memakai bra maupun celana dalam. Tegang juga rasanya baru pertama kalinya aku keluar rumah tanpa pakaian dalam sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam diriku.
Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan AC di mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet, aku baru tiba di kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya. Kampus sudah sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas sudah libur, kalaupun masuk batten cuma untuk pemantapan atau kuis saja.
Aku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua mahasiswa yang selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang biasa kualami karena aku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya aku tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu ada seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam, untungnya pakaianku tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak terjiplak. Akupun sampai ke ruang dia di sebelah lab. Bahasa dan kulihat lampunya masih nyala. Kuharap Bu Hany sudah pulang kalau tidak sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih kencang saat kuketuk pintunya.
“Masuk!” sahut suara dari dalam.
“Selamat abscessed Pak!”
“Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih?” katanya sambil memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku.
“Itu.. Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat saya”
“Waduh.. Kan Bapak sudah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat opname atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang begitu, harap anda maklum”
“Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak?”
“Maaf Dik, Bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini”
“Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk Bapak, saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak?”
“Penawaran.. Penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar segala,” katanya dengan agak jengkel karena aku terus ngotot.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini membuatnya salah tingkah. Selagi dia masih terbengong-bengong kuraih tangannya dan kuletakkan di betisku.
“Ayolah Pak, saya percaya Bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran terakhir saya, masa Bapak nggak tertarik dengan yang satu ini” godaku sambil merundukkan badan ke arahnya sehingga dia dapat melihat belahan payudaraku melalui leher bajuku yang agak rendah.
“Dik.. Kamu kamu ini.. Edan juga..” katanya terpatah-patah karena gugup.
Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah, “Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa.”
Dia makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika aku mulai melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan puting pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas pandangannya padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai merambat naik ke paha mulusku disertai sedikit remasan. Kuturunkan kakiku yang tersilang dan kurenggangkan pahaku agar dia lebih leluasa mengelus pahaku. Dengan setengah berdiri dia meraih payudaraku dengan tangan yang satunya, setelah tangannya memenuhi payudaraku dia meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku.
“Dadamu bagus juga yah dik, kencang dan montok,” pujinya
Dia lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan menyapu telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah lebih jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Dia berhenti sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa
“Ya ampun Dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini!?” tanyanya terheran-heran dengan keberanianku.
“Iyah Pak, khusus untuk Bapak.. Makanya Bapak harus tolong saya juga.”
Tiba-tiba dengan bernafsu dia bentangkan lebar-lebar kedua pahaku dan menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya. Matanya seperti mau copot memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang lebat. Sungguh tak pernah terbayang olehku aku duduk diatas meja mekakangkan kaki di hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian lidah Pak Qadar mulai menjilati bibir kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku dengan satu jarinya mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke atas meremasi payudaraku.
“Uhh.. .!” aku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil menggigit bibir bawah, tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan lidah dia. Aku mengerang pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha mulusku mengapit erat kepalanya seolah tidak menginginkannya lepas. Lidah itu bergerak semakin cheat menyapu dinding-dinding kemaluanku, yang batten enak adalah ketika ujung lidahnya beradu dengan klitorisku, duhh.. Rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir keringat mulai keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.
Setelah membuat vaginaku basah kuyup, dia berdiri dan melepaskan diri. Dia membuka celana panjang beserta celana dalamnya sehingga ‘burung’ yang dari tadi sudah sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri dengan dengan tenggak. Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati vaginaku.
“Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah nggak sabar nih”
“Eiit.. Sebentar Pak, Bapak kan belum ngerasain mulut saya nih, dijamin ketagihan deh,” kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja.
Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat perlahan disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi desahan pemiliknya setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka mulutku untuk memasukkan penis itu. Hhmm.. Hampir sedikit lagi masuk seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di tenggorokanku. Boleh juga penisnya untuk seusia dia, walaupun tidak seperkasa orang-orang kasar yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi sedikit urat, bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut.
Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar mengitari kepala penisnya. Sesekali aku melirik ke atas melihat ekspresi wajah dia menikmati seponganku. Berdasarkan pengalaman, sudah banyak cowok kelabakan dengan articulate sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak karuan bila lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun termasuk diantaranya. Dia mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya yang sudah bercucuran keringat dengan sapu tangan.
Namun ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu diketuk sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali celananya dan meneguk air dari gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di bawah meja kerjanya.
“Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai,” sahutnya membalas suara ketukan.
Dari bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan berpesan agar jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak pekerjaan, lalu pintu ditutup.
“Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum?” tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
“Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik.”
Lalu dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka hingga telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di lehernya dan memeluknya. Dari tubuhnya tercium balm khas parfum om-om. Dia yang memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku mengenakan sepatu yang solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di antara kedua gunungku, dia pasti keenakan kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku merasakan gigitan pada puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit dan mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu dan meninggalkan jejak di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku menurun hingga mencengkram pantatku yang bulat dan padat.
“Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat ya,” pujinya sambil meremas pantatku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai respons aku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC, keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya kini merambat naik menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum leherku dan mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya. Cupangannya cukup keras sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa hari. Akhirnya mulutnya bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling beradu dengan liar. Lucunya karena dia lebih pendek, aku harus sedikit menunduk untuk bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan diri dari ciuman.
“Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih,” pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas meja kerjanya. Dia berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku. Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya. Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga tertanam seluruhnya.
“Ooohh..!” desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar.
“Sakit Dik?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang semakin memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia menggenjotku, tapi aku juga harus menjaga aggregate suaraku agar tidak terdengar sampai luar, untuk itu kadang aku harus menggigit bibir atau jari. Dia semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku.
Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan serta memilin-milin putingnya. Tak absolutist kemudian aku merasa dunia makin berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap kali dia menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas kembali dan tergeletak di mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan alat tulis.
Aku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia yang masih bertenaga melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini pantatku pun menungging ke arahnya. Sambil meremas pantatku dia mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
“Uuhh.. Ngghh..!” desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam, badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, dengusan nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. Sebisa mungkin aku menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap saja sesekali aku menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap dan mataku menatap dengan pandangan kosong pada foto dia dengan istrinya yang dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami mundur beberapa langkah sehingga payudaraku yang tadinya menempel di meja kini menggantung bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Dia menjatuhkan pantatnya disana, namun dia mencegahku ketika aku mau duduk, disuruhnya aku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di depan wajahnya.
“Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini,” katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
“Sluurp.. Sshhrrp” dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas rambutnya sebagai respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama sepuluh menitan. Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan posisi berhadapan. Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah rasanya pas kutekan badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada vaginaku. Sedikit demi sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan dengan beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang mencuat di depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan leherku. Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat di selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku kembali mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya dan daerah selangkangan kami.
Semakin absolutist goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal dia saja yang masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di pangkuannya. Belakangan dia melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya dengan mulut saja. Aku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang masih hangat. Aku membuka mulut dan mengulumnya.
Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih cepat. Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi mulutku, rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang accustomed denganku. Inilah saatnya menjajal teknik menyepongku, aku berkonsentrasi menelan dan mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun menjilatinya sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali. Pak Qadar bersandar pada daybed dengan nafas terengah-engah dan mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali memakai pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku dan berjanji berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya aku besok datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar keputusannya.
Ternyata ketika besoknya aku datang lagi keputusannya masih belum kuterima, malahan aku kembali digarapnya. Rupanya dia masih belum puas dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang kebetulan tanggal merah aku diajaknya ke sebuah auberge melati di daerah Tangerang. Disana aku digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore, bahkan sempat aku dibuat pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk seusianya walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia memberitahukan bahwa aku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
“Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, Bapak sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin,” katanya sambil memencet putingku.
“Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya nggak mau perjuangan saya selama ini sia-sia,” jawabku dengan tersenyum kecil.
Hari itu aku dibuat shock dengan tercantumnya namaku di daftar cekal salah satu mata kuliah penting, 3 SKS pula. Aku sangat bingung di sana tertulis absenku sudah 4 kali, melebihi batas maksimum 3 kali, apakah aku salah menghitung, padahal di agendaku setiap absenku kucatat dengan jelas aku hanya 3 kali absen di mata kuliah itu.
Akupun accuse masalah ini dengan dosen yang bersangkutan yaitu Pak Qadar, seorang dosen yang cukup chief di kampusku, Usianya 40-an, berkacamata dan sedikit beruban, tubuhnya pendek kalau dibanding denganku hanya sampai sedagu. Diajar olehnya memang enak dan mengerti namun dia agak cunihin, karena suka cari-cari kesempatan untuk mencolek atau bercanda dengan mahasiswi yang cantik pada jam kuliahnya termasuk juga aku pernah menjadi korban kecunihinannya.
Karena sudah chief dan menjabat kepala jurusan, dia diberi ruangan seluas 5×5 beat bersama dengan Bu Hany yang juga dosen chief merangkap wakil kepala jurusan. Kuketuk pintunya yang terbuka setelah seorang mahasiswa yang sedang bicara padanya pamitan.
“Siang Pak!” sapaku dengan senyum dipaksa.
“Siang, ada perlu apa?”
“Ini Pak, saya mau tanya tentang absen saya, kok bisa lebih padahal di catatan saya cuma tiga..,” demikian kujelaskan panjang lebar dan dia mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Beberapa menit dia meninggalkanku untuk ke TU melihat daftar absen lalu kembali lagi dengan map absen di tangannya. Ternyata setelah usut punya usut, aku tertinggal satu jadwal kuliah tambahan dan cerobohnya aku juga lupa mencatatnya di agendaku. Dengan memohon belas kasihan aku memelas padanya supaya ada keringanan.
“Aduhh.. Tolong bell Pak, soalnya nggak ada yang memberitahu saya tentang yang tambahan itu, jadi saya juga nggak tahu Pak, bukan salah saya semua bell Pak.”
“Tapi kan Dik, anda sendiri harusnya tahu kalau absen yang tiga sebelumnya anda bolos bukan karena sakit atau apa kan, seharusnya untuk berjaga-jaga anda tidak absen sebanyak itu bell dulu.”
Beberapa saat aku tawar menawar dengannya namun ujung-ujungnya tetap harga mati, yaitu aku tetap tidak boleh ujian dengan kata lain aku tidak lulus di mata kuliah tersebut. Kata-kata terakhirnya sebelum aku pamit hanyalah,
“Ya sudahlah Dik, sebaiknya anda ambil hikmahnya kejadian ini supaya memacu anda lebih rajin di kemudian hari” dengan meletakkan tangannya di bahuku.
Dengan lemas dan pucat aku melangkah keluar dari situ dan hampir bertabrakan dengan Bu Hany yang menuju ke ruangan itu. Dalam perjalanan pulang di mobilpun pikiranku masih kalut sampai mobil di belakangku mengklaksonku karena tidak memperhatikan lampu sudah hijau.
Hari itu aku habis 5 batang rokok, padahal sebelumnya jarang sekali aku mengisapnya. Aku sudah susah-susah belajar dan mengerjakan tugas untuk mata kuliah ini, juga nilai UTS-ku 8, 8, tapi semuanya sia-sia hanya karena ceroboh sedikit, yang ada sekarang hanyalah jengkel dan sesal. Sambil tiduran aku memindah-mindahkan chanel ambit dengan remote, hingga sampailah aku pada approach TV dari Taiwan yang kebetulan sedang menayangkan blur semi.
Terlintas di pikiranku sebuah cara gila, mengapa aku tidak memanfaatkan sifat cunihinnya itu untuk menggodanya, aku sendiri kan penggemar seks bebas. Cuma cara ini cukup besar taruhannya kalau tidak kena malah aku yang malu, tapi biarlah tidak ada salahnya mencoba, gagal ya gagal, begitu pikirku. Aku memikirkan rencana untuk menggodanya dan menetapkan waktunya, yaitu abscessed jam 5 lebih, biasanya jam itu kampus mulai sepi dan dosen-dosen lain sudah pulang. Aku cuma berharap saat itu Bu Hany sudah pulang, kalau tidak rencana ini bisa tertunda atau mungkin gagal.
Keesokan harinya aku mulai menjalankan rencanaku dengan berdebar-debar. Kupakai pakaianku yang seksi berupa sebuah baju tanpa lengan berwarna biru dipadu dengan rok putih menggantung beberapa senti diatas lutut, gilanya adalah dibalik semua itu aku tidak memakai bra maupun celana dalam. Tegang juga rasanya baru pertama kalinya aku keluar rumah tanpa pakaian dalam sama sekali, seperti ada perasaan aneh mengalir dalam diriku.
Birahiku naik membayangkan yang tidak-tidak, terlebih hembusan AC di mobil semakin membuatku bergairah, udara dingin berhembus menggelikitik kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa. Karena agak macet, aku baru tiba di kampus jam setengah enam, kuharap Pak Qadar masih di kantornya. Kampus sudah sepi saat itu karena saat menjelang ujian banyak kelas sudah libur, kalaupun masuk batten cuma untuk pemantapan atau kuis saja.
Aku naik lift ke tingkat tiga. Seorang karyawan dan dua mahasiswa yang selift denganku mencuri-curi pandang ke arahku, suatu hal yang biasa kualami karena aku sering berpakaian seksi cuma kali ini bedanya aku tidak pakai apa-apa di baliknya. Entah bagaimana reaksi mereka kalau tahu ada seorang gadis di tengah mereka tidak berpakaian dalam, untungnya pakaianku tidak terlalu ketat sehingga lekukan tubuhku tidak terjiplak. Akupun sampai ke ruang dia di sebelah lab. Bahasa dan kulihat lampunya masih nyala. Kuharap Bu Hany sudah pulang kalau tidak sia-sialah semuanya. Jantungku berdetak lebih kencang saat kuketuk pintunya.
“Masuk!” sahut suara dari dalam.
“Selamat abscessed Pak!”
“Oh, kamu Citra yang kemarin, ada apa lagi nih?” katanya sambil memutar kursinya yang menghadap komputer ke arahku.
“Itu.. Pak mau membicarakan masalah yang kemarin lagi, apa masih ada keringanan buat saya”
“Waduh.. Kan Bapak sudah bilang dari kemarin bahwa tanpa surat opname atau ijin khusus, kamu tetap dihitung absen, disini aturannya memang begitu, harap anda maklum”
“Jadi sudah tidak ada tawar-menawar lagi Pak?”
“Maaf Dik, Bapak tidak bisa membantumu dalam hal ini”
“Begini saja Pak, saya punya penawaran terakhir untuk Bapak, saya harap bisa menebus absen saya yang satu itu, bagaimana Pak?”
“Penawaran.. Penawaran, memangnya pasar pakai tawar-menawar segala,” katanya dengan agak jengkel karena aku terus ngotot.
Tanpa pikir panjang lagi aku langsung menutup pintu dan menguncinya, lalu berjalan ke arahnya dan langsung duduk diatas meja tepat disampingnya dengan menyilangkan kaki. Tingkahku yang nekad ini membuatnya salah tingkah. Selagi dia masih terbengong-bengong kuraih tangannya dan kuletakkan di betisku.
“Ayolah Pak, saya percaya Bapak pasti bisa nolongin saya, ini penawaran terakhir saya, masa Bapak nggak tertarik dengan yang satu ini” godaku sambil merundukkan badan ke arahnya sehingga dia dapat melihat belahan payudaraku melalui leher bajuku yang agak rendah.
“Dik.. Kamu kamu ini.. Edan juga..” katanya terpatah-patah karena gugup.
Wajahku mendekati wajahnya dan berbisik pelan setengah mendesah, “Sudahlah Pak, tidak usah pura-pura lagi, nikmati saja selagi bisa.”
Dia makin terperangah tanpa mengedipkan matanya ketika aku mulai melepaskan kancing bajuku satu-persatu sampai kedua payudaraku dengan puting pink-nya dan perutku yang rata terlihat olehnya. Tanpa melepas pandangannya padaku, tangannya yang tadinya cuma memegang betisku mulai merambat naik ke paha mulusku disertai sedikit remasan. Kuturunkan kakiku yang tersilang dan kurenggangkan pahaku agar dia lebih leluasa mengelus pahaku. Dengan setengah berdiri dia meraih payudaraku dengan tangan yang satunya, setelah tangannya memenuhi payudaraku dia meremasnya pelan diiringi desahan pendek dari mulutku.
“Dadamu bagus juga yah dik, kencang dan montok,” pujinya
Dia lalu mendekatkan mulutnya ke arah payudaraku, sebuah jilatan menyapu telak putingku disusul dengan gigitan ringan menyebabkan benda itu mengeras dan tubuhku bergetar. Sementara tangannya yang lain merambah lebih jauh ke dalam rokku hingga akhirnya menyentuh pangkal pahaku. Dia berhenti sejenak ketika jari-jarinya menyentuh kemaluanku yang tidak tertutup apa-apa
“Ya ampun Dik, kamu tidak pakai dalaman apa-apa ke sini!?” tanyanya terheran-heran dengan keberanianku.
“Iyah Pak, khusus untuk Bapak.. Makanya Bapak harus tolong saya juga.”
Tiba-tiba dengan bernafsu dia bentangkan lebar-lebar kedua pahaku dan menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya. Matanya seperti mau copot memandangi kemaluanku yang merah merekah diantara bulu-bulu hitam yang lebat. Sungguh tak pernah terbayang olehku aku duduk diatas meja mekakangkan kaki di hadapan dosen yang kuhormati. Sebentar kemudian lidah Pak Qadar mulai menjilati bibir kemaluanku dengan rakusnya. Lidahnya ditekan masuk ke dalam kemaluanku dengan satu jarinya mempermainkan klitorisku, tangannya yang lain dijulurkan ke atas meremasi payudaraku.
“Uhh.. .!” aku benar-benar menikmatinya, mataku terpejam sambil menggigit bibir bawah, tubuhku juga menggelinjang oleh sensasi permainan lidah dia. Aku mengerang pelan meremas rambutnya yang tipis, kedua paha mulusku mengapit erat kepalanya seolah tidak menginginkannya lepas. Lidah itu bergerak semakin cheat menyapu dinding-dinding kemaluanku, yang batten enak adalah ketika ujung lidahnya beradu dengan klitorisku, duhh.. Rasanya geli seperti mau ngompol. Butir-butir keringat mulai keluar seperti embun pada sekujur tubuhku.
Setelah membuat vaginaku basah kuyup, dia berdiri dan melepaskan diri. Dia membuka celana panjang beserta celana dalamnya sehingga ‘burung’ yang dari tadi sudah sesak dalam sangkarnya itu kini dapat berdiri dengan dengan tenggak. Digenggamnya benda itu dan dibawa mendekati vaginaku.
“Bapak masukin sekarang aja yah Dik, udah nggak sabar nih”
“Eiit.. Sebentar Pak, Bapak kan belum ngerasain mulut saya nih, dijamin ketagihan deh,” kataku sambil meraih penisnya dan turun dari meja.
Kuturunkan badanku perlahan-lahan dengan gerakan menggoda hingga berlutut di hadapannya. Penis dalam genggamanku itu kucium dan kujilat perlahan disertai sedikit kocokan. Benda itu bergetar hebat diiringi desahan pemiliknya setiap kali lidahku menyapunya. Sekarang kubuka mulutku untuk memasukkan penis itu. Hhmm.. Hampir sedikit lagi masuk seluruhnya tapi nampaknya sudah mentok di tenggorokanku. Boleh juga penisnya untuk seusia dia, walaupun tidak seperkasa orang-orang kasar yang pernah ML denganku, miliknya cukup kokoh dan dihiasi sedikit urat, bagian kepalanya nampak seperti cendawan berdenyut-denyut.
Dalam mulutku penis itu kukulum dan kuhisap, kugerakkan lidahku memutar mengitari kepala penisnya. Sesekali aku melirik ke atas melihat ekspresi wajah dia menikmati seponganku. Berdasarkan pengalaman, sudah banyak cowok kelabakan dengan articulate sex-ku, mereka biasa mengerang-ngerang tak karuan bila lidahku sudah beraksi pada penis mereka, Pak Qadar pun termasuk diantaranya. Dia mengelus-elus rambutku dan mengelap dahinya yang sudah bercucuran keringat dengan sapu tangan.
Namun ada sedikit gangguan di tengah kenikmatan. Terdengar suara pintu diketuk sehingga kami agak panik. Pak Qadar buru-buru menaikkan kembali celananya dan meneguk air dari gelasnya. Aku disuruhnya sembunyi di bawah meja kerjanya.
“Ya.. Ya.. Sebentar tanggung ini hampir selesai,” sahutnya membalas suara ketukan.
Dari bawah meja aku mendengar dia sudah membuka pintu dan berbicara dengan seseorang yang aku tidak tahu. Kira-kira tiga menitan mereka berbicara, Pak Qadar mengucapkan terima kasih pada orang itu dan berpesan agar jangan diganggu dengan alasan sedang lembur dan banyak pekerjaan, lalu pintu ditutup.
“Siapa tadi itu Pak, sudah aman belum?” tanyaku setelah keluar dari kolong meja.
“Tenang cuma karyawan mengantar surat ini kok, yuk terusin lagi Dik.”
Lalu dengan cueknya aku melepaskan baju dan rokku yang sudah terbuka hingga telanjang bulat di hadapannya. Aku berjalan ke arahnya yang sedang melongo menatapi ketelanjanganku, kulingkarkan lenganku di lehernya dan memeluknya. Dari tubuhnya tercium balm khas parfum om-om. Dia yang memangnya pendek terlihat lebih pendek lagi karena saat itu aku mengenakan sepatu yang solnya tinggi.
Kudorong kepalanya di antara kedua gunungku, dia pasti keenakan kuperlakukan seperti itu. Tiba-tiba aku meringis dan mendesis karena aku merasakan gigitan pada puting kananku, dia dengan gemasnya menggigit dan mencupangi putingku itu, giginya digetarkan pada bulatan mungil itu dan meninggalkan jejak di sekitarnya. Tangannya mengelusi punggungku menurun hingga mencengkram pantatku yang bulat dan padat.
“Hhmm.. Sempurna sekali tubuhmu ini Dik, pasti rajin dirawat ya,” pujinya sambil meremas pantatku.
Aku hanya tersenyum kecil menanggapi pujiannya lalu kubenamkan kembali wajahnya ke payudaraku yang sebelah, diapun melanjutkan menyusu dari situ. Kali ini dia menjilati seluruh permukaannya hingga basah oleh liurnya lalu diemut dan dihisap kuat-kuat. Tangannya dibawah sana juga tidak bisa diam, yang kiri meremas-remas pantat dan pahaku, yang kanan menggerayangi vaginaku dan menusuk-nusukkan jarinya di sana. Sebagai respons aku hanya bisa mendesah dan memeluknya erat-erat, darah dalam tubuhku semakin bergolak sehingga walaupun ruangan ini ber-AC, keringatku tetap menetes-netes.
Mulutnya kini merambat naik menjilati leher jenjangku, dia juga mengulum leherku dan mencupanginya seperti Dracula memangsa korbannya. Cupangannya cukup keras sampai meninggalkan bercak merah selama beberapa hari. Akhirnya mulutnya bertemu dengan mulutku dimana lidah kami saling beradu dengan liar. Lucunya karena dia lebih pendek, aku harus sedikit menunduk untuk bercumbuan dengannya. Sambil berciuman tanganku meraba-raba selangkangannya yang sudah mengeras itu. Setelah tiga menitan karena merasa pegal lidah dan susah bernafas kami melepaskan diri dari ciuman.
“Masukin aja sekarang yah Pak.. Saya udah nggak tahan nih,” pintaku sambil terus menurunkan resleting celananya.
Namun belum sempat aku mengeluarkan penisnya, dia sudah terlebih dulu mengangkat tubuhku. Wow, pendek-pendek gini kuat juga ternyata, dia masih sanggup menggendongku dengan kedua tangan lalu diturunkan di atas meja kerjanya. Dia berdiri diantara kedua belah pahaku dan membuka celananya, tangannya memegang penis itu dan mengarahkannya ke vaginaku. Tangan kananku meraih benda itu dan membantu menancapkannya. Perlahan-lahan batang itu melesak masuk membelah bibir vaginaku hingga tertanam seluruhnya.
“Ooohh..!” desahku dengan tubuh menegang dan mencengkram bahu Pak Qadar.
“Sakit Dik?” tanyanya.
Aku hanya menggeleng walaupun rasanya memang agak nyeri, tapi itu cuma sebentar karena selanjutnya yang terasa hanyalah nikmat, ya nikmat yang semakin memuncak. Aku tidak bisa tidak mendesah setiap kali dia menggenjotku, tapi aku juga harus menjaga aggregate suaraku agar tidak terdengar sampai luar, untuk itu kadang aku harus menggigit bibir atau jari. Dia semakin cepat memaju-mundurkan penisnya, hal ini menimbulkan sensasi nikmat yang terus menjalari tubuhku.
Tubuhku terlonjak-lonjak dan tertekuk sehingga payudaraku semakin membusung ke arahnya. Kesempatan ini tidak disia-siakan dia yang langsung melumat yang kiri dengan mulutnya dan meremas-remas yang kanan serta memilin-milin putingnya. Tak absolutist kemudian aku merasa dunia makin berputar dan tubuhku menggelinjang dengan dahsyat, aku mendesah panjang dan melingkarkan kakiku lebih erat pada pinggangnya. Cairan bening mengucur deras dari vaginaku sehingga menimbulkan bunyi kecipak setiap kali dia menghujamkan penisnya. Beberapa detik kemudian tubuhku melemas kembali dan tergeletak di mejanya di antara tumpukan arsip-arsip dan alat tulis.
Aku hanya bisa mengambil nafas sebentar karena dia yang masih bertenaga melanjutkan ronde berikutnya. Tubuhku dibalikkan telungkup diatas meja dan kakiku ditarik hingga terjuntai menyentuh lantai, otomatis kini pantatku pun menungging ke arahnya. Sambil meremas pantatku dia mendorongkan penisnya itu ke vaginaku.
“Uuhh.. Ngghh..!” desisku saat penis yang keras itu membelah bibir kemaluanku.
Dalam posisi seperti ini sodokannya terasa semakin keras dan dalam, badanku pun ikut tergoncang hebat, payudaraku serasa tertekan dan bergesekan di meja kerjanya. Pak Qadar menggenjotku semakin cepat, dengusan nafasnya bercampur dengan desahanku memenuhi ruangan ini. Sebisa mungkin aku menjaga suaraku agar tidak terlalu keras, tapi tetap saja sesekali aku menjerit kalau sodokannya keras. Mulutku mengap-mengap dan mataku menatap dengan pandangan kosong pada foto dia dengan istrinya yang dipajang di sana.
Beberapa menit kemudian dia menarik tubuh kami mundur beberapa langkah sehingga payudaraku yang tadinya menempel di meja kini menggantung bebas. Dengan begitu tangannya bisa menggerayangi payudaraku. Pak Qadar kemudian mengajak ganti posisi, digandengnya tanganku menuju sofa. Dia menjatuhkan pantatnya disana, namun dia mencegahku ketika aku mau duduk, disuruhnya aku berdiri di hadapannya, sehingga kemaluanku tepat di depan wajahnya.
“Bentar yah Dik, Bapak bersihin dulu punyamu ini,” katanya seraya menempelkan mulutnya pada kerimbunan bulu-bulu kemaluanku.
“Sluurp.. Sshhrrp” dijilatinya kemaluanku yang basah itu, cairan orgasmeku diseruputnya dengan bernafsu. Aku mendesis dan meremas rambutnya sebagai respons atas tindakannya. Vaginaku dihisapinya selama sepuluh menitan. Setelah puas aku disuruhnya naik kepangkuannya dengan posisi berhadapan. Kugenggam penisnya dan kuarahkan ke lubangku, setelah rasanya pas kutekan badanku ke bawah sehingga penis dia tertancap pada vaginaku. Sedikit demi sedikit aku merasakan ruang vaginaku terisi dan dengan beberapa hentakan masuklah batang itu seluruhnya ke dalamku.
20 menit lamanya kami berpacu dalam gaya demikian berlomba-lomba mencapai puncak. Mulutnya tak henti-henti mencupangi payudaraku yang mencuat di depan wajahnya, sesekali mulutnya juga mampir di pundak dan leherku. Akupun akhirnya tidak tahan lagi dengan memuncaknya rasa nikmat di selangkanganku, gerak naik turunku semakin cepat sampai vaginaku kembali mengeluarkan cukup banyak cairan orgasme yang membasahi penisnya dan daerah selangkangan kami.
Semakin absolutist goyanganku semakin lemah, sehingga tinggal dia saja yang masih menghentak-hentakkan tubuhku yang sudah lemas di pangkuannya. Belakangan dia melepaskanku juga dan menyuruh menyelesaikannya dengan mulut saja. Aku masih lemas dan duduk bersimpuh di lantai di antara kedua kakinya, kugerakkan tangan kananku meraih penisnya yang belum ejakulasi. Benda itu, juga bulu-bulunya basah sekali oleh cairanku yang masih hangat. Aku membuka mulut dan mengulumnya.
Seiring dengan tenagaku yang terkumpul kembali kocokanku pun lebih cepat. Hingga akhirnya batang itu semakin berdenyut diiringi suara erangan parau dari mulutnya. Sperma itu menyemprot langit-langit mulutku, disusul semprotan berikutnya yang semakin mengisi mulutku, rasanya hangat dan kental dengan aromanya yang accustomed denganku. Inilah saatnya menjajal teknik menyepongku, aku berkonsentrasi menelan dan mengisapnya berusaha agar cairan itu tidak terbuang setetespun.
Setelah perjuangan yang cukup berat akhirnya sempotannya makin mengecil dan akhirnya berhenti sama sekali. Belum cukup puas, akupun menjilatinya sampai bersih mengkilat, perlahan-lahan benda itu melunak kembali. Pak Qadar bersandar pada daybed dengan nafas terengah-engah dan mengibas-ngibaskan leher kemejanya. Setelah merasa segar kami kembali memakai pakaian masing-masing. Dia memuji permainanku dan berjanji berusaha membantuku mencari pemecahan masalah ini. Disuruhnya aku besok datang lagi pada jam yang sama untuk mendengar keputusannya.
Ternyata ketika besoknya aku datang lagi keputusannya masih belum kuterima, malahan aku kembali digarapnya. Rupanya dia masih belum puas dengan pelayananku. Dan besok lusanya yang kebetulan tanggal merah aku diajaknya ke sebuah auberge melati di daerah Tangerang. Disana aku digarapnya setengah hari dari pagi sampai sore, bahkan sempat aku dibuat pingsan sekali. Luar biasa memang daya tahannya untuk seusianya walaupun dibantu oleh suplemen pria. Namun perjuanganku tidaklah sia-sia, ketika sedang berendam bersama di bathtub dia memberitahukan bahwa aku sudah diperbolehkan ikut dalam ujian.
“Kesananya berusaha sendiri yah Dik, jangan minta yang lebih lagi, Bapak sudah perjuangkan hal ini dalam rapat kemarin,” katanya sambil memencet putingku.
“Tenang aja Pak, saya juga tahu diri kok, yang penting saya nggak mau perjuangan saya selama ini sia-sia,” jawabku dengan tersenyum kecil.
No comments:
Post a Comment